Malam itu, Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkeliling ke segenap penjuru Madinah. Beliau ingin mengetahui bagaimana keadaan rakyatnya ketika malam hari. Dalam sejarah, ini adalah yang pertama dan tidak akan terulang kembali, seorang Kepala Negara berkeliling Ibu Kota, sendirian, tanpa adanya pasukan pengawal. Dan, inilah salah satu bukti kecemerlangan sejarah Islam. Ketika Islam yang cemerlang, dipancarkan oleh pribadi–pribadi yang cemerlang pula, maka rahmat Islam bagi semesta, sangat terasa, bagi siapapun.
Dalam jaulah malamnya itu, sang Khalifah mendengar sebuah dialog dari salah satu rumah warganya di Madinah. Dialog antara seorang ibu dengan putri semata wayangnya. Ketika itu, sang Khalifah memerintahkan kepada seluruh penduduk di negerinya, khususnya bagi para penjual susu, agar tidak mencampur susu dengan air untuk kemudian dijual. Hal ini, merupakan salah satu perintah yang menunjukkan kesyumulan ajaran Islam. Bahkan tentang jual beli susu sekalipun, Islam mengaturnya.
Ibu tersebut berkata kepada anaknya, “Nak, campurlah susu itu dengan air, barulah kita menjualnya.” Sang Khalifah kaget. Ternyata, ada rakyatnya yang tidak mematuhi titahnya. Tapi beliau diam, ingin mendengarkan apa jawaban sang anak. Tak lama, sang putri menjawab, “Wahai Ibuku, bukankah Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu dengan air?” Jawaban ini membuat Umar kaget. Ternyata dari rahim ibu tersebut, terlahir wanita yang sholihah, yang taat kepada pemimpinnya. “Bukankah Amirul Mukminin tidak tahu?” jawab sang ibu jujur. Ia tidak tahu jika ternyata Amirul Mukminin tengah “menguping” perbincangan mereka. Jawab sang anak, “Wahai Ibuku, beliau memang tidak tahu. Tapi, Allah adalah Maha Mengetahui atas segala yang diperbuat oleh HambaNya.” Umar terdiam. Ia haru. Bercampur bangga. Maka, sebelum pergi meninggalkan rumah tersebut, Ia menandainya. Agar esok bisa dikenalinya siapakah gerangan wanita sholikhah tersebut.
Ketika pagi menjelang, Amirul Mukminin mengumpulkan seluruh putranya. Ia memberi titah kepada Mereka, “Nikahilah Gadis itu! Jika salah satu dari kalian tidak ada yang berkenan, Aku sendiri yang akan menikahinya.” Sebuah perintah tegas yang tidak bertele-tele. Maka, dikisahkan salah satu dari anak Amirul Mukminin yang bernama ‘Ashim, menikahi wanita tersebut. Wanita sholikhah yang takut kepada Allah.
Sejarah kemudian mencatat, dari pernikahan itu lahirlah Khalifah kelima, Umar Bin Abdul Aziz. Khalifah yang hanya memerintah selama dua setengah tahun namun berhasil mensejahterakan rakyatnya. Terbukti, pada masa pemerintahannya, beliau bingung untuk mencari mustahik, penerima zakat. Karena seluruh rakyatnya, tidak layak menjadi penerima melainkan pemberi zakat,muzakki.
Kisah di atas, bukanlah berasal dari negeri dongeng. Kisah ini merupakan fakta sejarah yang tidak mungkin dipungkiri. Sebuah kisah yang membuat kita bertanya dan menangis rindu. Rindu karena di jaman kita, sangat susah dijumpai seorang pemimpin yang begitu peduli kepada rakyatnya. Yang ada, pemimpin kita saat ini, kebanyakannya adalah pemimpin yang sangat peduli pada nasib dirinya, keluarganya juga partainya. Bukan kepada nasib rakyatnya.
Dari kisah ini, ada beberpa hal yang bisa kita ambil, untuk dijadikan hikmah. Pertama, teladan kepada semua pemimpin agar turun langsung ke lapangan. Hal itu adalah niscaya, agar pemimpin bisa mengetahui fakta. Bukan sekedar laporan dari stafnya yang sangat mungkin untuk dimanipulasi. Apalagi, di negeri kita terkenal dengan jargon ABS, Asal Bapak Senang. Maka, di sana sini, di semua lini, banyak ditemukan data yang bersimpangan dengan fakta. Datanya, kemiskinan turun. Faktanya, pengangguran meningkat, gelandangan bertambah, pengemis semakin menjamur. Singkatnya, kemiskinan bukan menurun melainkan meningkat pesat. Begitupun dengan aspek lainnya. Misal, kita disuguhi iklan bahwa pendidikan gratis. Iklannya booming, ditayangkan berkali–kali di layar televisi, disiarkan ke seluruh penjuru negeri. Sekali lagi, datanya, Pendidikan Gratis. Sementara itu, di lapangan kita dapati berjuta lebih anak negeri ini yang terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya lantaran biaya. Jangankan untuk sekolah! Makan sehari–hari saja susahnya minta ampun. Yang bisa masukpun, dikenai biaya yang tidak sedikit. Bahkan biaya tersebut tercatat melangit, tak terjangkau bagi kalangan miskin yang diklaim telah menurun jumlahnya.
Kedua, Orang tua berkewajiban mencarikan jodoh yang baik bagi anak–anaknya. Dalam kisah Umar bin Khattab di atas, kita dapati sebuah kesimpulan yang sangat sederhana. Sang Presiden menikahkan anaknya dengan anak penjual susu. Apa jadinya jika Presiden kita sekarang melakukan hal serupa? Entahlah. Namun, bukan penjual susu yang dijadikan acuan bagi Amirul Mukminin, beliau menikahkan putranya kepada wanita tersebut, karena ketaqwaan. Karena kesholihan. Bukan karena asesoris duniwai lainnya. Sungguh! Kita tidak banyak mendapati hal ini pada orang tua–orang tua masa kini. Di mana yang dijadikan patokan bagi orang tua masa kini, bukanlah taqwa, melainkan harta, tahta dan rupa. Yang dilakukan oleh Amirul Mukminin ini, senada dengan perintah Nabi, “Nikahilah wanita karena fisiknya, keluarganya, hartanya atau agamanya. Jika kamu menikahi mereka karena agamanya, maka kalian akan selamat.”
Ketiga, sederhananya menikah. Ia adalah perintah Allah, sehingga harus dilakukan karenaNya, dengan cara yang telah ditentukanNya pula. Kisah ini juga seruan agar kita tidak mempersulit diri. Yakni menyederhanakan dalam kriteria, cukup dengan apa yang Allah perintahkan melalui Rasulullah, sederhana dalam proses, juga memudahkan di setiap langkah. Tidak ribet, apalagi terkesan mempersulit sehingga menjadi alasan untuk menunda sesuatu yang diperintahkan untuk disegerakan.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Sehingga kita makin tergerak untuk terus belajar. Mempelajari sejarah agung para pendahulu umat ini untuk kemudian mengejewantahkannya dalam kehidupan, semampu kita.
Wahai Amirul Mukminin, jasadmu telah berkalang tanah. Tapi karyamu, amalmu, akan senantiasa harum. Ia dikenang dan diteladani oleh seluruh umat yang mau berpikir. Semoga kami, bisa menapaki jejakmu. Wallahu A’lam Bishshowab. []
Dalam jaulah malamnya itu, sang Khalifah mendengar sebuah dialog dari salah satu rumah warganya di Madinah. Dialog antara seorang ibu dengan putri semata wayangnya. Ketika itu, sang Khalifah memerintahkan kepada seluruh penduduk di negerinya, khususnya bagi para penjual susu, agar tidak mencampur susu dengan air untuk kemudian dijual. Hal ini, merupakan salah satu perintah yang menunjukkan kesyumulan ajaran Islam. Bahkan tentang jual beli susu sekalipun, Islam mengaturnya.
Ibu tersebut berkata kepada anaknya, “Nak, campurlah susu itu dengan air, barulah kita menjualnya.” Sang Khalifah kaget. Ternyata, ada rakyatnya yang tidak mematuhi titahnya. Tapi beliau diam, ingin mendengarkan apa jawaban sang anak. Tak lama, sang putri menjawab, “Wahai Ibuku, bukankah Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu dengan air?” Jawaban ini membuat Umar kaget. Ternyata dari rahim ibu tersebut, terlahir wanita yang sholihah, yang taat kepada pemimpinnya. “Bukankah Amirul Mukminin tidak tahu?” jawab sang ibu jujur. Ia tidak tahu jika ternyata Amirul Mukminin tengah “menguping” perbincangan mereka. Jawab sang anak, “Wahai Ibuku, beliau memang tidak tahu. Tapi, Allah adalah Maha Mengetahui atas segala yang diperbuat oleh HambaNya.” Umar terdiam. Ia haru. Bercampur bangga. Maka, sebelum pergi meninggalkan rumah tersebut, Ia menandainya. Agar esok bisa dikenalinya siapakah gerangan wanita sholikhah tersebut.
Ketika pagi menjelang, Amirul Mukminin mengumpulkan seluruh putranya. Ia memberi titah kepada Mereka, “Nikahilah Gadis itu! Jika salah satu dari kalian tidak ada yang berkenan, Aku sendiri yang akan menikahinya.” Sebuah perintah tegas yang tidak bertele-tele. Maka, dikisahkan salah satu dari anak Amirul Mukminin yang bernama ‘Ashim, menikahi wanita tersebut. Wanita sholikhah yang takut kepada Allah.
Sejarah kemudian mencatat, dari pernikahan itu lahirlah Khalifah kelima, Umar Bin Abdul Aziz. Khalifah yang hanya memerintah selama dua setengah tahun namun berhasil mensejahterakan rakyatnya. Terbukti, pada masa pemerintahannya, beliau bingung untuk mencari mustahik, penerima zakat. Karena seluruh rakyatnya, tidak layak menjadi penerima melainkan pemberi zakat,muzakki.
Kisah di atas, bukanlah berasal dari negeri dongeng. Kisah ini merupakan fakta sejarah yang tidak mungkin dipungkiri. Sebuah kisah yang membuat kita bertanya dan menangis rindu. Rindu karena di jaman kita, sangat susah dijumpai seorang pemimpin yang begitu peduli kepada rakyatnya. Yang ada, pemimpin kita saat ini, kebanyakannya adalah pemimpin yang sangat peduli pada nasib dirinya, keluarganya juga partainya. Bukan kepada nasib rakyatnya.
Dari kisah ini, ada beberpa hal yang bisa kita ambil, untuk dijadikan hikmah. Pertama, teladan kepada semua pemimpin agar turun langsung ke lapangan. Hal itu adalah niscaya, agar pemimpin bisa mengetahui fakta. Bukan sekedar laporan dari stafnya yang sangat mungkin untuk dimanipulasi. Apalagi, di negeri kita terkenal dengan jargon ABS, Asal Bapak Senang. Maka, di sana sini, di semua lini, banyak ditemukan data yang bersimpangan dengan fakta. Datanya, kemiskinan turun. Faktanya, pengangguran meningkat, gelandangan bertambah, pengemis semakin menjamur. Singkatnya, kemiskinan bukan menurun melainkan meningkat pesat. Begitupun dengan aspek lainnya. Misal, kita disuguhi iklan bahwa pendidikan gratis. Iklannya booming, ditayangkan berkali–kali di layar televisi, disiarkan ke seluruh penjuru negeri. Sekali lagi, datanya, Pendidikan Gratis. Sementara itu, di lapangan kita dapati berjuta lebih anak negeri ini yang terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya lantaran biaya. Jangankan untuk sekolah! Makan sehari–hari saja susahnya minta ampun. Yang bisa masukpun, dikenai biaya yang tidak sedikit. Bahkan biaya tersebut tercatat melangit, tak terjangkau bagi kalangan miskin yang diklaim telah menurun jumlahnya.
Kedua, Orang tua berkewajiban mencarikan jodoh yang baik bagi anak–anaknya. Dalam kisah Umar bin Khattab di atas, kita dapati sebuah kesimpulan yang sangat sederhana. Sang Presiden menikahkan anaknya dengan anak penjual susu. Apa jadinya jika Presiden kita sekarang melakukan hal serupa? Entahlah. Namun, bukan penjual susu yang dijadikan acuan bagi Amirul Mukminin, beliau menikahkan putranya kepada wanita tersebut, karena ketaqwaan. Karena kesholihan. Bukan karena asesoris duniwai lainnya. Sungguh! Kita tidak banyak mendapati hal ini pada orang tua–orang tua masa kini. Di mana yang dijadikan patokan bagi orang tua masa kini, bukanlah taqwa, melainkan harta, tahta dan rupa. Yang dilakukan oleh Amirul Mukminin ini, senada dengan perintah Nabi, “Nikahilah wanita karena fisiknya, keluarganya, hartanya atau agamanya. Jika kamu menikahi mereka karena agamanya, maka kalian akan selamat.”
Ketiga, sederhananya menikah. Ia adalah perintah Allah, sehingga harus dilakukan karenaNya, dengan cara yang telah ditentukanNya pula. Kisah ini juga seruan agar kita tidak mempersulit diri. Yakni menyederhanakan dalam kriteria, cukup dengan apa yang Allah perintahkan melalui Rasulullah, sederhana dalam proses, juga memudahkan di setiap langkah. Tidak ribet, apalagi terkesan mempersulit sehingga menjadi alasan untuk menunda sesuatu yang diperintahkan untuk disegerakan.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Sehingga kita makin tergerak untuk terus belajar. Mempelajari sejarah agung para pendahulu umat ini untuk kemudian mengejewantahkannya dalam kehidupan, semampu kita.
Wahai Amirul Mukminin, jasadmu telah berkalang tanah. Tapi karyamu, amalmu, akan senantiasa harum. Ia dikenang dan diteladani oleh seluruh umat yang mau berpikir. Semoga kami, bisa menapaki jejakmu. Wallahu A’lam Bishshowab. []
Comments
Post a Comment
terima kasih telah berpartisipasi pada blog kami